Senin, 28 November 2011

Cintaku Dan Deritaku


                Kisah romantika pada masa perkuliahan tidaklah kalah menariknya dengan masa sekolah, pada masa ini lebih lagi mengerti akan kemana dibawa nantinya hubungan tersebut. Pada masa kuliah ini pun jelaslah berbeda gaya berpacarannya dengan masa sekolah dulu, begitu juga dengan problematikannya tersebut di masa kuliah, seperti kekerasan dalam berpacaran.
                Jaka (nama samaran), dan melati (nama samaran), mereka adalah pasangan yang sudah berpacaran cukup lama, namun masalah baru terasa oleh melati ketika jaka mulai suka memukul  jika mereka sedang bertengkar, melati baru tersadar jaka memiliki sikap yang sangat egois. Kejadian ini terus berlangsung ketika mereka sedang berselisih paham, namun anehnya sesaat setelah jaka memukul melati saat itu juga jaka langsung meminta maaf terhadap kekasihnya tersebut sambil menangis,  Luluh langsung hati melati melihat air mata jaka. Namun kejadian – kejadian pemukulan lainnya tetap terjadi, begitu juga permintaan maaf dari jaka. Suatu ketika setelah jaka memukul melati lalu meminta maaf, jaka berkata bahwa ia meniru perilaku sang ayah yang seperti itu terhadap ibunya. Ayahnya selalu memukul ibunya jika mereka bertengkar. Lama – lama melati gerah juga terhadap sikap jaka, ia memilih berpisah dengan kekasihnya tersebu.
                Kekerasan dalam berpacaran sering kali terjadi, seperti yang menimpa melati. Banyak sekali faktor  yang menyebabkan mengapa itu bisa terjadi. Jaka contohnya, ia meniru tindakan tersebut dari sang ayah karena berbuat demikian terhadap ibunya. Jaka menjadi seperti ayahnya terhadap kekasihnya tersebut, dia selalu bermain fisik terhadap melati jika sedang bertengkar. Ini adalah salah satu dampak psikologi seorang anak yang melihat KDRT (kekerasan dalam berumah tangga) salah satu cara untuk merubah sifat jaka adalah melakukan pendekatan lagi oleh pihak – pihak yang berada di sekitar jaka seperti sahabat atau saudaranya

Minggu, 20 November 2011

Kasih Uang Habis Perkara



Indonesia adalah negara yang berdaulat. Setiap Negara yang berdaulat tentunya mempunyai undang-undang yang berlaku. Politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah kekuasaan Negara. Bahkan lalu lintas pun diatur dalam undang-undang.
Khusus untuk pengendara dan yang dibonceng kendaraan bermotor beroda dua wajib menggunakan helm. Bagi pengendara yang melanggar akan didenda sebesar Rp.250.000 lumayan berat, menguras isi kantong kosong di akhir bulan. Maksud dan tujuan denda ini sungguh sangat mulia yaitu agar pengendar dan pengguna jalan disiplin berlalu lintas. Nah ini dia… seperti biasa, ada peraturan ada pelanggaran. Hal yang sangat lumrah terjadi peraturan untuk di langgar.
Dengan maksud sama sekali untuk tidak melanggar peraturan pagi itu ada keperluan mendadak. Boncengan sama teman, kebetulan helmnya lagi di pinjam. Terpaksalah berangkat ke tempat tujuan tanpa helm lengkap.
Tiba di perempatan jalan, tiba-tiba peluit pak polisi bunyi. Cuek saja, jalan terus… eh ternyata pak polisinya nyetop. Wahhh… gawat! Akhirnya nyadar juga lagi melakukan hal yang melanggar.
Dengan merasa bersalah langsung saja menghadap ke pos pak polisi. Dengan basa-basi seadanya dan yang pastinya sudah basi karena di ulang-ulang pak polisi nanya, “anda mau bayar denda di sini atau STNK anda kami tahanuntuk proses masuk sidang?”.
Berpikir sejenak, sidang?? Kedengarannya bagus, tapi belum tau dimana tempatnya. Darah pertualang terasa memanas ingin menjelajahi tempat itu. Dengan sigap saya menjawab, “siap pak, saya ikutan sidang saja”. Tanda tangan kontrak pun terjadi antara saya dan pak polisi untuk menghadiri sidang yang mulia.
Sambil celingak-celinguk kiri kanan, ternyata rame juga yang terjaring. Tapi kelihatannya mereka sangat sibuk dengan telpon genggam masing-masing. Jadi penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Kenapa mereka lama prosesnya ya? Waah ga bisa terima ternyata mereka bebas begitu saja tanpa harus ikut sidang dan bayar denda. Selidik punya selidik mereka punya link masing-masing untuk hal seperti ini.
Pertama, telpon orang tua bagi yang orang tuanya polisi. Jika orang tua bukan polisi hal selanjutnya, telpon om, saudara, atau kenalan yang berstatus polisi. Hanya hitungan menit, si pelanggar bebas. Di sudut pos pak polisi ada juga yang lagi tawar menawar, owh ternyata lagi tawar menawar denda. KUHP tidak usah repot-repot untuk buka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena KUHP disini Kasih uang Habis Perkara.
Siiip… inilah negeri tanah lahir ku. Jual beli hukum masih berlaku. Sampai kapan hukum yang tertera dalam undang-undang di terapkan. Ini hanya jeritan anak negeri yang prihatin nasib bangsa ini. Berusaha untuk mematuhi, tapi ternyata di jahili.

India Negara Miskin Yang Tidak Gaptek



            Salah satu Negara termiskin di dunia adalah india, kenapa saya bisa mengatakan seperti itu karena banyak sekali artikel yang ada di media internet yang menjelaskan hal –hal kemiskinan pada Negara tersebut (india). Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
               Tetapi dalam bidangk tehnologi informasi Negara india tidak bias di pandang sebelah mata, Negara ini banyak melahirkan orang – orang yang sangat fasih terhadap bidang tersebut (tehnologi informasi). Pada 26 April 2005, House of Representatives Amerika Serikat mengeluarkan resolusi berisi penghormatan terhadap penduduk AS yang berkebangsaan India.secara khusus, resolusi itu menyebutkan bahwa para alumnus Indian Institute of Technology (IIT) telah menyumbang inovasi ekonomi kepada masyarakat AS dan menekankan kepada bangsa Amerika untuk mengakui kontribusi besar tersebut. Resolusi ini memperlihatkan selain penghormatan terhadap alumni IIT juga pengakuan betapa lembaga pendidikan tinggi India di bidang teknologi itu memiliki reputasi internasional.

               Pengakuan dunia terhadap IIT juga tertuang dalam The Times Higher Education Supplement, media cetak dan online yang memfokuskan diri pada bidang pendidikan, yang membuat ranking terhadap universitas- universitas ternama di seluruh dunia.

               Menurut terbitan itu, IIT berada pada urutan ketiga teratas setelah Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan University of California Berkeley untuk bidang teknologi. Adapun untuk bidang  sains, IIT berada pada urutan ke-36, dan ada di posisi ke-50 sebagai universitas terbaik di dunia. Seluruh pengakuan ini didasarkan pada kenyataan di lapangan yang memperlihatkan para alumnus IIT menduduki posisi-posisi penting di perusahaan-perusahaan besar tingkat dunia.

               Salah satu contoh, NR Narayana Murthy, pendiri Infosys, salah satu perusahaan teknologi informasi terbesar India berbasis di Bangalore, adalah alumnus IIT. Infosys sendiri memiliki lebih dari 30 kantor di seluruh dunia.

               Alumnus lain, Vinod Khosla, adalah salah satu pendiri Sun Microsystems, perusahaan teknologi informasi besar di AS. Daftar nama ini akan bertambah panjang dengan memasukkan perusahaan seperti Cirrus Logic, McKinsey, Vodafone, Citigroup, Novell, dan masih banyak lagi.

Center of excellence

               India, negeri berpenduduk lebih dari satu miliar jiwa, dikenal
memiliki lembaga pendidikan tinggi yang diakui dunia. Selain IIT, juga ada Indian Institute of Science (IISc) yang berlokasi di Bangalore. Tahun 2003, IISc yang telah didirikan sejak tahun 1909 dimasukkan ke dalam daftar 300 perguruan tinggi top dunia oleh Shanghai Jiao Tong University, salah satu universitas ternama di China.    Atau institusi pendidikan lainnya seperti All India Institute of Medical Sciences (AIIMS), oleh majalah Newsweek dimasukkan dalam ranking 10 besar institusi ternama di seluruh dunia dalam hal penanganan pasien. Selain ketiga lembaga itu, beberapa lembaga pendidikan tinggi lain memang dirancang untuk menjadi center of excellence di India. National Institutes of Technology, misalnya, awalnya adalah Regional Engineering Colleges (RECs) yang terdapat di 17 kota. Ke-17 RECs ini telah berdiri sejak akhir tahun 1950-an dan tersebar di seluruh negara bagian. Tahun 2002, Pemerintah India memutuskan meningkatkan mutu RECs setara dengan IIT.

               Maka, sejak empat tahun lalu, RECs berubah menjadi National Institutes of Technology (NIT) yang berfungsi sebagai perguruan tinggi teknik otonom, memiliki kewenangan membuat kurikulum sendiri, serta memakai bahasa pengantar Inggris di seluruh NIT. Pertanyaannya, bagaimana India mencapai hal itu? Satu hal yang pasti adalah rancangan pendidikan tinggi di India, terutama di bidang teknologi, telah dimulai sejak awal berdirinya negeri ini. Ketika itu, Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India, ingin mewujudkan cita-cita India sebagai pemimpin di bidang sains dan teknologi selain terutama untuk melayani permintaan yang terus bertambah akan tenaga-tenaga terlatih di bidang ini. Maka, bekerja sama dengan sektor industri, Pemerintah India memutuskan mendirikan institusi pendidikan di bidang ini di seluruh
India. Seperti IISc memfokuskan diri pada riset dan pendidikan teknologi mutakhir.

               Didirikan tahun 1909 atas prakarsa seorang industrialis India, Jamsetji Nusserwanji Tata, IISc menawarkan program-program riset postgraduate dan doktoral kepada lebih dari 2.000 peneliti aktif yang bekerja di 48 departemen, mulai dari teknologi ruang angkasa, fisika, biologi molekular, kelautan, komputer dan otomotif, hingga manajemen. Hasil-hasil riset yang membawa terobosan membuat jurnal bergengsi seperti Current Science menetapkan IISc sebagai lembaga riset terbaik di India dalam kaitan dengan hasil riset. Keseriusan Pemerintah India membangun tenaga terdidik di bidang teknologi dibuktikan dengan pemberian status istimewa kepada lembaga-lembaga pendidikan tinggi tersebut melalui undang-undang seperti Indian Institute of Technology Act.

              




               Undang-undang tersebut memastikan bahwa semua IIT memiliki hak-hak istimewa dan meletakkan fondasi bagi gerak mereka sebagai institusi berkelas internasional. Baru-baru ini, bahkan Kementerian Keuangan India memberikan bantuan sebesar 25 juta dollar AS yang diambil dari budget nasional untuk pengembangan Indian Institute of Science. Selain itu, kesadaran penuh pemerintah untuk berkolaborasi dengan dunia industri menunjukkan terintegrasinya sistem pendidikan tinggi India dengan laju perkembangan industrinya. Kondisi inilah yang memungkinkan India melahirkan tenaga terdidik dan terampil untuk merespons globalisasi. Menurut perkiraan, setiap tahun India memproduksi 350.000 insinyur, jumlah yang dua kali lipat
lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan AS.

               Secara keseluruhan, dengan sekitar 300 universitas dan lebih dari 15.600 college, India memproduksi 2,5 juta tenaga terampil setiap tahun, hanya sedikit di bawah AS dan China. Hampir sebagian besar tenaga terdidik ini mengisi pos-pos pekerjaan di dalam negeri. Fenomena yang cukup menonjol adalah munculnya perusahaan-perusahaan outsourcing India yang mengandalkan kemajuan di bidang teknologi, terutama teknologi informasi. Di sektor industri penerbitan saja nilai bisnis outsourcing ini diperkirakan mencapai 200 juta dollar AS pada tahun 2006. Bahkan, sebuah perusahaan riset dan intelijen bisnis di India, ValueNotes Database Pvt Ltd, memprediksi bahwa nilai bisnis ini di India akan menyentuh angka 1,1 miliar dollar AS tahun 2010. Banyak perusahaan asing, di AS ataupun Inggris, memilih memindahkan sebagian pekerjaannya ke India, dengan melihat kenyataan berlimpahnya tenaga terampil berbahasa Inggris di negeri ini dan penghematan ongkos produksi yang bisa mencapai 50-70 persen dibandingkan dengan di negeri-negeri Barat.

               Meski demikian, semua keberhasilan India dalam membangun tenaga terdidik bidang teknologi ini masih menyisakan paradoks. Bagaimanapun, jumlah lembaga pendidikan tinggi yang menjadi center of excellence India masih terlalu kecil bagi negeri sebesar India. Dengan universitas dan college yang ada saat ini, sesungguhnya India hanya bisa melayani 7 persen dari total jumlah kelompok umur yang seharusnya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Selain itu, persoalan disparitas antara negara bagian di wilayah utara dan selatan juga mengemuka. Menurut catatan Marie Lall dari Chatham House, sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis di Inggris yang menangani isu-isu. internasional, di Negara Bagian Bihar terdapat kurang dari satu lembaga pendidikan di bidang teknologi untuk setiap 10 juta penduduk.

               Negara Bagian Tamil Nadu memiliki hampir empat institusi teknik untuk setiap satu juta penduduknya (www.chathamhouse.org.uk/pdf/research/asia). Sebagian besar college yang ada merupakan affiliated colleges, yaitu institusi cabang dari institusi induknya. Umumnya, affiliated colleges ini tidak memiliki infrastruktur memadai seperti jumlah dosen yang sedikit, perpustakaan dengan koleksi buku memprihatinkan, dan tentunya tidak dapat diharapkan bisa memproduksi riset-riset berkualitas. Kondisi ini mendorong banyak mahasiswa India dengan kantong tebal. memilih menuntut ilmu di luar negeri. Dalam sebuah artikel di YaleGlobal online diungkap bahwa India telah mengeluarkan sekitar 3 miliar dollar AS per tahun untuk mengongkosi sekolah mahasiswanya di luar negeri.

               Menurut catatan, ada sekitar 80.000 mahasiswa India menuntut ilmu di AS dan 5.000 mahasiswa kedokteran India studi di China. Sebaliknya, sebuah riset yang dilakukan Association of Indian University mengungkap turunnya jumlah mahasiswa asing yang kuliah di India, dari 12.765 orang pada tahun akademik 1992-1993 menjadi hanya 7.745 orang pada tahun 2003-2004.

Agama dan Sekolahku….


Sebagian besar warga Indonesia pasti akan menjawab ada lima agama besar yang diakui negara. Kelima agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.Beberapa orang lainnya mungkin akan menambahkan Kong Hu Cu setelah negara mengakui Kong Hu Cu sebagai keenam.Namun banyak yang tidak menyadari bahwa di Indonesia ternyata hidup banyak agama lain selain keenam agama besar itu.Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat ratusan agama dan kepercayaan asli Indonesia masih memiliki pengikut hingga saat ini.“Menurut data yang kami miliki ada sekitar 200-an agama dengan jumlah pengikut sekitar 9 juta jiwa,” kata Direktur Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa Gendro Nurhadi kepada BBC Indonesia.Tetapi, lanjut Gendro, angka yang disebutkannya itu bukanlah sebuah data pasti. Sebab, jumlah organisasi keagamaan asli Indonesia ini tidak menentu.“Jumlah pastinya tidak bisa dipastikan. Karena ada agama yang setelah pemimpinnya meninggal dunia organisasinya tidak dilanjutkan,” papar Gendro.Agama-agama asli Indonesia semisal Parmalim, Sunda Wiwitan, Kapribaden dan Kaharingan sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh sebelum agama-agama Samawi dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.
“Jauh sebelum agama-agama Samawi datang ke Indonesia, masyarakat Batak sudah memiliki konsep Tuhan dan kehidupan beragama. Sudah ada keyakinan kepada Tuhan pencipta alam semesta,” kata salah seorang penganut Ugamo Malim atau Parmalim Maringan Simanjuntak.Begitu pula dengan kepercayaan Kapribaden yang dianut sebagian warga etnis Jawa diyakini sudah ada sejak jaman dahulu.Kapribaden adalah kepercayaan yang menekankan pengenalan dan pengendalian pribadi untuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini pertama kali muncul di Purworejo, Jawa Tengah.“Jelas, kapribaden sudah ada sejak jaman dahulu, sebelum agama ada di Indonesia. Namun secara organisasi kami baru resmi terbentuk 1978 dan terdaftar di Departemen Dalam Negeri tahun 1981,” kata pinisepuh Paguyuban Kapribaden Hartini Wahyono.
Dengan kenyataan banyaknya agama-agama asli di Indonesia yang tak membuat pengakuan negara menimbulkan banyak pertanyaan.Sebab, di Indonesia tak satupun undang-undang yang secara tegas menyebut agama-agama yang dianggap resmi dan diakui negara.Satu-satunya peraturang perundangan yang menyebutkan nama-nama agama yang dianut rakyat Indonesia hanyalan Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama.“Tetapi dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia,” kata Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT.Sehingga, lanjut Anick, anggapan bahwa negara hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia adalah salah kaprah.“Kenapa itu salah kaprah? Sebab undang-undang itu diterjemahkan secara salah oleh pejabat-pejabat masa Orde Baru,” lanjut Anick.Anggapan adanya agama resmi, tambah Anick, berasal dari surat edaran menteri dalam negeri.“Tapi itu konteksnya adalah soal pengisian kolom agama di KTP,” papar Anick.
Menanggapi masalah ini, Menteri Agama Surya Darma Ali menyatakan negara pada dasarnya menjamin kebebasan semua agama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.“Di Indonesia ini bebas, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Sikh, Zoroaster, Tao, animisme, dinamisme kan tidak ada yang melarang. Tetapi agama-agama itu tidak bersinggungan dengan agama lain,” kata menteri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan itu saat ditemui BBC Indonesia.Agama-agama yang tidak disebutnya, lanjut Surya Darma, bukan berarti negara melarang mereka untuk tumbuh dan berkembang.“Kalau sebuah komunitas menyebut kepercayaan itu sebagai agama, maka jadilah dia agama,” tambah Surya Darma.Jika menyimak penjelasan Menteri Agama itu, terkesan negara memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh agama untuk berkembang.Namun, pada kenyataannya pemerintah malah tidak mengkatagorikan agama dan kepercayaan asli Indonesia sebagai agama.“Pada tahun 1978, negara memasukkan agama-agama asli dimasukkan ke dalam Departemen Kebudayaan, karena dianggap sebagai sebuah budaya spiritual bukan agama,” kata Gendro Nurhadi.Sebelumnya keputusan itu, papar Gendro, agama dan kepercayaan asli Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.Uniknya, keputusan mengkatagorikan agama dan kepercayaan Indonesia ke dalam ranah kebudayaan tak dilandasi kriteria yang memadai.“Kriteria resmi tidak ada. Kepercayaan kepada Tuhan itu bukan agama. Itu saja,” papar Gendro.Dan nampaknya pemerintah tak menyadari bahwa keputusan tersebut berujung dengan terabaikannya hak-hak sipil warga pemeluk agama-agama yang tak dianggap resmi itu
Di sekolah, para siswa siswi yang datang dari keluarga penganut ajaran kepercayaan terpaksa harus beragama lain saat berada di lingkungan sekolah.Salah satu contoh adalah Yeti Riana Rahmadani seorang siswi sekolah menengah atas di Bekasi, Jawa Barat.Yeti yang menganut Kapribaden “terpaksa” memilih agama Islam untuk mata pelajaran agama. Sejauh ini, aku Yeti, dia tak menghadapi kendala apapun.“Saya mengikuti pelajaran (agama Islam) di sekolah, tapi saya tetap kapribaden,” kata Yeti.
Meski mengaku tak menemukan masalah dengan pelajaran agamanya namun terkadang kawan-kawannya tak urung mempertanyakan kadar keagamaannya.“Kadang-kadang temen bilang, Yeti Islamnya KTP doang. Memangnya kamu shalat di rumah,” kisah Yeti menirukan pertanyaan beberapa teman sekolahnya.Sementara itu, Hedi Purwanto mahasiswa Universitas Negeri Jakarta penganut aliran kepercayaan, juga mencantumkan Islam sebagai agamanya di dalam KTP.Masalah muncul saat Hedi kerap tidak terlihat dalam ibadah rutin umat Islam, misalnya ibadah shalat Jumat.“Teman sering menanyakan kenapa saya tidak Jumatan. Saya terkadang menjawab saya belum dapat hidayah,” kata Hedi sambil tertawa.Sementara itu, seorang penganut Parmalim Mulo Sitorus mengatakan masalah tak diakuinya agama-agama asli Indonesia ini menyebabkan anak-anak Parmalim sulit mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi.“Sekarang (pendaftaran) dilakukan secara online lewat internet. Masalahnya dalam formulir pendaftaran online hanya dicantumkan kolom enam agama,” kata Mulo.
Diskriminasi dalam dunia pendidikan ini hanyalah satu dari sederet masalah yang dialami para pemeluk agama dan kepercayaan asli Indonesia ini.Para pemeluk agama Kaharingan di Kalimantan Tengah juga menghadapi diskriminasi. Padahal sejak tahun 1980, agama Kaharingan sudah berada di bawah naungan Agama Hindu yang diakui negara.“Kami masih sulit bersaing meski kami memiliki pendidikan yang sama. Kami sering kalah sebelum berkompetisi misalnya dalam perekrutan pegawai negeri sipil, para penganut Hindu Kaharingan selalu disisihkan,” kata Susanto Kurniawan seorang penganut Hindu Kaharingan.Kondisi seperti ini, menurut Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT, mengakibatkan kebingungan di kalangan penganut agama dan kepercayaan asli Indonesia.“Akibat diskriminasi banyak dari mereka yang memilih salah satu agama misalnya Islam atau Kristen,” papar Anick.          
“Secara public mereka Islam, misalnya. Namun, mereka tidak menikmati ke-Islaman mereka. Ini adalah sebuah hipokrisi publik yang dilegalkan negara. Dan menurut saya ini adalah dosa besar,” tegasnya.Akibat kondisi ini, dalam jangka panjang keberadaan aliran kepercayaan dan agama asli Indonesia terancam kepunahan.“Pada sekitar 1965 penganut kepercayaan ini menjadi sasaran pembunuhan karena dianggap komunis akibat tidak memilih salah satu agama,” tekan Anick.“Ada fakta bahwa pengikut kepercayaan semakin berkurang. Penyebabnya, selain pembunuhan, juga tergerus akibat konversi ke agama lain,” terangnya