Minggu, 20 November 2011

Agama dan Sekolahku….


Sebagian besar warga Indonesia pasti akan menjawab ada lima agama besar yang diakui negara. Kelima agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.Beberapa orang lainnya mungkin akan menambahkan Kong Hu Cu setelah negara mengakui Kong Hu Cu sebagai keenam.Namun banyak yang tidak menyadari bahwa di Indonesia ternyata hidup banyak agama lain selain keenam agama besar itu.Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat ratusan agama dan kepercayaan asli Indonesia masih memiliki pengikut hingga saat ini.“Menurut data yang kami miliki ada sekitar 200-an agama dengan jumlah pengikut sekitar 9 juta jiwa,” kata Direktur Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa Gendro Nurhadi kepada BBC Indonesia.Tetapi, lanjut Gendro, angka yang disebutkannya itu bukanlah sebuah data pasti. Sebab, jumlah organisasi keagamaan asli Indonesia ini tidak menentu.“Jumlah pastinya tidak bisa dipastikan. Karena ada agama yang setelah pemimpinnya meninggal dunia organisasinya tidak dilanjutkan,” papar Gendro.Agama-agama asli Indonesia semisal Parmalim, Sunda Wiwitan, Kapribaden dan Kaharingan sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh sebelum agama-agama Samawi dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.
“Jauh sebelum agama-agama Samawi datang ke Indonesia, masyarakat Batak sudah memiliki konsep Tuhan dan kehidupan beragama. Sudah ada keyakinan kepada Tuhan pencipta alam semesta,” kata salah seorang penganut Ugamo Malim atau Parmalim Maringan Simanjuntak.Begitu pula dengan kepercayaan Kapribaden yang dianut sebagian warga etnis Jawa diyakini sudah ada sejak jaman dahulu.Kapribaden adalah kepercayaan yang menekankan pengenalan dan pengendalian pribadi untuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini pertama kali muncul di Purworejo, Jawa Tengah.“Jelas, kapribaden sudah ada sejak jaman dahulu, sebelum agama ada di Indonesia. Namun secara organisasi kami baru resmi terbentuk 1978 dan terdaftar di Departemen Dalam Negeri tahun 1981,” kata pinisepuh Paguyuban Kapribaden Hartini Wahyono.
Dengan kenyataan banyaknya agama-agama asli di Indonesia yang tak membuat pengakuan negara menimbulkan banyak pertanyaan.Sebab, di Indonesia tak satupun undang-undang yang secara tegas menyebut agama-agama yang dianggap resmi dan diakui negara.Satu-satunya peraturang perundangan yang menyebutkan nama-nama agama yang dianut rakyat Indonesia hanyalan Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama.“Tetapi dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia,” kata Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT.Sehingga, lanjut Anick, anggapan bahwa negara hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia adalah salah kaprah.“Kenapa itu salah kaprah? Sebab undang-undang itu diterjemahkan secara salah oleh pejabat-pejabat masa Orde Baru,” lanjut Anick.Anggapan adanya agama resmi, tambah Anick, berasal dari surat edaran menteri dalam negeri.“Tapi itu konteksnya adalah soal pengisian kolom agama di KTP,” papar Anick.
Menanggapi masalah ini, Menteri Agama Surya Darma Ali menyatakan negara pada dasarnya menjamin kebebasan semua agama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.“Di Indonesia ini bebas, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Sikh, Zoroaster, Tao, animisme, dinamisme kan tidak ada yang melarang. Tetapi agama-agama itu tidak bersinggungan dengan agama lain,” kata menteri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan itu saat ditemui BBC Indonesia.Agama-agama yang tidak disebutnya, lanjut Surya Darma, bukan berarti negara melarang mereka untuk tumbuh dan berkembang.“Kalau sebuah komunitas menyebut kepercayaan itu sebagai agama, maka jadilah dia agama,” tambah Surya Darma.Jika menyimak penjelasan Menteri Agama itu, terkesan negara memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh agama untuk berkembang.Namun, pada kenyataannya pemerintah malah tidak mengkatagorikan agama dan kepercayaan asli Indonesia sebagai agama.“Pada tahun 1978, negara memasukkan agama-agama asli dimasukkan ke dalam Departemen Kebudayaan, karena dianggap sebagai sebuah budaya spiritual bukan agama,” kata Gendro Nurhadi.Sebelumnya keputusan itu, papar Gendro, agama dan kepercayaan asli Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.Uniknya, keputusan mengkatagorikan agama dan kepercayaan Indonesia ke dalam ranah kebudayaan tak dilandasi kriteria yang memadai.“Kriteria resmi tidak ada. Kepercayaan kepada Tuhan itu bukan agama. Itu saja,” papar Gendro.Dan nampaknya pemerintah tak menyadari bahwa keputusan tersebut berujung dengan terabaikannya hak-hak sipil warga pemeluk agama-agama yang tak dianggap resmi itu
Di sekolah, para siswa siswi yang datang dari keluarga penganut ajaran kepercayaan terpaksa harus beragama lain saat berada di lingkungan sekolah.Salah satu contoh adalah Yeti Riana Rahmadani seorang siswi sekolah menengah atas di Bekasi, Jawa Barat.Yeti yang menganut Kapribaden “terpaksa” memilih agama Islam untuk mata pelajaran agama. Sejauh ini, aku Yeti, dia tak menghadapi kendala apapun.“Saya mengikuti pelajaran (agama Islam) di sekolah, tapi saya tetap kapribaden,” kata Yeti.
Meski mengaku tak menemukan masalah dengan pelajaran agamanya namun terkadang kawan-kawannya tak urung mempertanyakan kadar keagamaannya.“Kadang-kadang temen bilang, Yeti Islamnya KTP doang. Memangnya kamu shalat di rumah,” kisah Yeti menirukan pertanyaan beberapa teman sekolahnya.Sementara itu, Hedi Purwanto mahasiswa Universitas Negeri Jakarta penganut aliran kepercayaan, juga mencantumkan Islam sebagai agamanya di dalam KTP.Masalah muncul saat Hedi kerap tidak terlihat dalam ibadah rutin umat Islam, misalnya ibadah shalat Jumat.“Teman sering menanyakan kenapa saya tidak Jumatan. Saya terkadang menjawab saya belum dapat hidayah,” kata Hedi sambil tertawa.Sementara itu, seorang penganut Parmalim Mulo Sitorus mengatakan masalah tak diakuinya agama-agama asli Indonesia ini menyebabkan anak-anak Parmalim sulit mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi.“Sekarang (pendaftaran) dilakukan secara online lewat internet. Masalahnya dalam formulir pendaftaran online hanya dicantumkan kolom enam agama,” kata Mulo.
Diskriminasi dalam dunia pendidikan ini hanyalah satu dari sederet masalah yang dialami para pemeluk agama dan kepercayaan asli Indonesia ini.Para pemeluk agama Kaharingan di Kalimantan Tengah juga menghadapi diskriminasi. Padahal sejak tahun 1980, agama Kaharingan sudah berada di bawah naungan Agama Hindu yang diakui negara.“Kami masih sulit bersaing meski kami memiliki pendidikan yang sama. Kami sering kalah sebelum berkompetisi misalnya dalam perekrutan pegawai negeri sipil, para penganut Hindu Kaharingan selalu disisihkan,” kata Susanto Kurniawan seorang penganut Hindu Kaharingan.Kondisi seperti ini, menurut Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT, mengakibatkan kebingungan di kalangan penganut agama dan kepercayaan asli Indonesia.“Akibat diskriminasi banyak dari mereka yang memilih salah satu agama misalnya Islam atau Kristen,” papar Anick.          
“Secara public mereka Islam, misalnya. Namun, mereka tidak menikmati ke-Islaman mereka. Ini adalah sebuah hipokrisi publik yang dilegalkan negara. Dan menurut saya ini adalah dosa besar,” tegasnya.Akibat kondisi ini, dalam jangka panjang keberadaan aliran kepercayaan dan agama asli Indonesia terancam kepunahan.“Pada sekitar 1965 penganut kepercayaan ini menjadi sasaran pembunuhan karena dianggap komunis akibat tidak memilih salah satu agama,” tekan Anick.“Ada fakta bahwa pengikut kepercayaan semakin berkurang. Penyebabnya, selain pembunuhan, juga tergerus akibat konversi ke agama lain,” terangnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar